Selasa, 14 Januari 2014

KENYATAAN KEIMANAN



            Keimanan kepada Allah merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara manusia dengan dzat yang Maha Menciptakannya. Sebabnya yang sedemikian ini ialah karena manusia adalah semulia-mulianya makhluq Tuhan yang menetap di atas permukaan bumi, sedang semulia-mulia yang ada di dalam tubuh manusia itu ialah hatinya dan semulia-mulia sifat yang ada di dalam hati adalah keimanan.
            Dari segi ini dapatlah kita maklumi bahwasannya mendapatkan petunjuk sehingga menjadi manusia yang beriman adalah seagung-agung kenikmatan yang dimiliki oleh
seseorang, juga semulia-mulia karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya secara mutlak.
            Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya, “…Mereka merasa telah memberi ni’mat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: Janganlah kamu merasa telah memberi ni’mat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan memimpin kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (Q.S. al-Hujurat: 17)
            Allah juga berfirman, “…Tetapi Allah telah menimbulkan cintamu kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu perhiasan dalam hatimu dan ditumbuhkan pula oleh Allah itu rasa kebencian dalam hatimu terhadap kekufuran, kejahatan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar. Demikian itu adalah suatu karunia dan kenikmatan dari Allah”. (Q.S. al-Hujurat : 7-8)
            Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja ataupun hanya semacam keyakinan dalam hati belaka, tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu aqidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani dan dari situ akan muncul pulalah bekas-bekas atau kesan-kesannya, sebagaimana munculnya cahaya yang disorotkan oleh matahari dan juga sebagaimana semerbaknya bau harum yang disemarakkan oleh setangkai bunga mawar.
            Salah satu dari pada kesan-kesan keimanan itu ialah apabila Allah dan Rasul-Nya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Ini wajiblah ditampakkan, baik dalam ucapan, perbuatan dan segala geraknya dalam pergaulan dan sewaktu sendirian. Jikalau dalam kalbunya itu dirasakan masih ada sesuatu yang lebih dicintai olehnya daripada Allah dan Rasul-Nya, maka dalam keadaan semacam ini daparlah dikatakan bahwa keimanannya memang sudah masuk, tetapi aqidahnya yang masih goyah.
            Perhatikanlah firman Allah surah at-Taubah:24 berikut
            Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
                Menilik ayat di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa kehidupan di dunia dengan segala apa yang ada di dalamnya sepeerti orang tua, anak, cucu, saudara, istri atau suami, keluarga, harta, perniagaan, rumah dan lain-lain itu jikalau semua itu adalah salah satunya yang masih lebih dicintai oleh seseorang melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya,  maka baiklah ia menunggu saja siksaan Allah yang akan menimpa dirinya. Orang semacam itu pasti hatinya lebih sibuk untuk memikirkan apa-apa yang dicintainya itu daripada memperhatikan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah guna dilaksanakan dan apa-apa yang dilarang oleh-Nya guna dijauhi.
            Keimanan itu memang tidak mungkin dapat sempurna melainkan dengan rasa cinta yang hakiki, yang senyata-nyatanya dan yang sebenar-benarnya. Cinta itu ialah yang ditunjukkan kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada syariat yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya itu.
            Sebagaimana keimanan itu dapat membentuk buah yang berupa kecintaan, maka ia harus pula dapat menimbulkan buah lain yang berupa perjuangan (jihad) dan berkorban untuk meninggikan kalimatullah yakni bahwa agama Allah harus di atas segala-galanya. Juga mengadakan pembelaan untuk mengibarkan setinggi-tingginya bendera kebenaran, berusaha segigih-gigihnya untuk menolak adanya penganiayaan, kedzaliman dan kerusakan yang dibuat oleh manusia yang sewenang-wenang di atas permukaan bumi ini.
            Banyak sekali keimanan itu dirangkaikan penguraiannya dengan persoalan jihad, karena memang jihad ini adalah jiwa keimanan dan itu pula yang merupakan kenyataan amaliahnya.
            Firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 111 yang artinya, : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” Memperlihatkan bahwa perjuangan sudah tampak nyata dikalangan kaum mu’minin yang pilihan yakni mereka yang gidup dalam permulaan waktu perkembangan islam yang jaya sehingga patutlah bahwa mereka itu memperoleh pujian Allah sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Ahzab:23 yang artinya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya),[1]
               


[1] Maksudnya menunggu apa yang telah Allah janjikan kepadanya.

0 komentar:

Posting Komentar