Keimanan
kepada Allah merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara manusia dengan
dzat yang Maha Menciptakannya. Sebabnya yang sedemikian ini ialah karena
manusia adalah semulia-mulianya makhluq Tuhan yang menetap di atas permukaan bumi,
sedang semulia-mulia yang ada di dalam tubuh manusia itu ialah hatinya dan
semulia-mulia sifat yang ada di dalam hati adalah keimanan.
Dari
segi ini dapatlah kita maklumi bahwasannya mendapatkan petunjuk sehingga
menjadi manusia yang beriman adalah seagung-agung kenikmatan yang dimiliki oleh
seseorang, juga semulia-mulia karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya
secara mutlak.
Dalam
hal ini Allah berfirman yang artinya, “…Mereka
merasa telah memberi ni’mat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah:
Janganlah kamu merasa telah memberi ni’mat kepadaku dengan keislamanmu,
sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan memimpin kamu
kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (Q.S. al-Hujurat:
17)
Allah
juga berfirman, “…Tetapi Allah telah
menimbulkan cintamu kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu perhiasan dalam
hatimu dan ditumbuhkan pula oleh Allah itu rasa kebencian dalam hatimu terhadap
kekufuran, kejahatan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti
jalan yang benar. Demikian itu adalah suatu karunia dan kenikmatan dari Allah”.
(Q.S. al-Hujurat : 7-8)
Keimanan
itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja ataupun
hanya semacam keyakinan dalam hati belaka, tetapi keimanan yang
sebenar-benarnya adalah merupakan suatu aqidah atau kepercayaan yang memenuhi
seluruh isi hati nurani dan dari situ akan muncul pulalah bekas-bekas atau
kesan-kesannya, sebagaimana munculnya cahaya yang disorotkan oleh matahari dan
juga sebagaimana semerbaknya bau harum yang disemarakkan oleh setangkai bunga
mawar.
Salah
satu dari pada kesan-kesan keimanan itu ialah apabila Allah dan Rasul-Nya
dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Ini wajiblah
ditampakkan, baik dalam ucapan, perbuatan dan segala geraknya dalam pergaulan
dan sewaktu sendirian. Jikalau dalam kalbunya itu dirasakan masih ada sesuatu
yang lebih dicintai olehnya daripada Allah dan Rasul-Nya, maka dalam keadaan
semacam ini daparlah dikatakan bahwa keimanannya memang sudah masuk, tetapi
aqidahnya yang masih goyah.
Perhatikanlah
firman Allah surah at-Taubah:24 berikut
Katakanlah:
"Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.
Menilik ayat di atas dapatlah diambil kesimpulan
bahwa kehidupan di dunia dengan segala apa yang ada di dalamnya sepeerti orang
tua, anak, cucu, saudara, istri atau suami, keluarga, harta, perniagaan, rumah
dan lain-lain itu jikalau semua itu adalah salah satunya yang masih lebih
dicintai oleh seseorang melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka baiklah ia menunggu saja siksaan Allah
yang akan menimpa dirinya. Orang semacam itu pasti hatinya lebih sibuk untuk
memikirkan apa-apa yang dicintainya itu daripada memperhatikan apa-apa yang diperintahkan
oleh Allah guna dilaksanakan dan apa-apa yang dilarang oleh-Nya guna dijauhi.
Keimanan
itu memang tidak mungkin dapat sempurna melainkan dengan rasa cinta yang
hakiki, yang senyata-nyatanya dan yang sebenar-benarnya. Cinta itu ialah yang
ditunjukkan kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada syariat yang diwahyukan
oleh Allah kepada Rasul-Nya itu.
Sebagaimana
keimanan itu dapat membentuk buah yang berupa kecintaan, maka ia harus pula
dapat menimbulkan buah lain yang berupa perjuangan (jihad) dan berkorban untuk
meninggikan kalimatullah yakni bahwa agama Allah harus di atas segala-galanya.
Juga mengadakan pembelaan untuk mengibarkan setinggi-tingginya bendera
kebenaran, berusaha segigih-gigihnya untuk menolak adanya penganiayaan,
kedzaliman dan kerusakan yang dibuat oleh manusia yang sewenang-wenang di atas
permukaan bumi ini.
Banyak
sekali keimanan itu dirangkaikan penguraiannya dengan persoalan jihad, karena
memang jihad ini adalah jiwa keimanan dan itu pula yang merupakan kenyataan
amaliahnya.
Firman
Allah dalam surah at-Taubah ayat 111 yang artinya, : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah;
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari
Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati
janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang
telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” Memperlihatkan
bahwa perjuangan sudah tampak nyata dikalangan kaum mu’minin yang pilihan yakni
mereka yang gidup dalam permulaan waktu perkembangan islam yang jaya sehingga
patutlah bahwa mereka itu memperoleh pujian Allah sebagaimana firman-Nya dalam
surah al-Ahzab:23 yang artinya, “Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah
(janjinya),[1]
0 komentar:
Posting Komentar