Senin, 06 Desember 2010

Hadist Dha'if


HADIST DHAIF
III.1 Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1)      Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2)      Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3)      Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4)      Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
5. Hadist Mudallas
Mudallas menurut bahasa adalah isim maf’ul drai at-tadlis . Dan tadlis dalam bahasa berarti penyembunyian aib barang dagangan dari pembeli. Diambil dari kata ad-dalsu , yaitu kegelapan atau percampuran kegelapan; seakan- akan seorang mudallis karena penutupannya terhadap orang yang memahami hadits telah menggelapkan perkaranya, sehingga hadits tersebut menjadi gelap. Tadlis menurut istilah : “ Penyembunyian aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada dhahirnya”. Pembagian Tadlis Tadlis ada dua macam, yaitu : - Tadlis Al- 
Isnad - Tadlis Asy-Syuyukh Tadlis Al- Isnad Tadlis Al-Isnad adalah bilaseorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang ia temui apa yang tidak dia dengarkan darinya; atau dari orang yang hidup semasa dengan perawi
namun ia tidak menjumpainya; dengan menyamarkan bahwa ia mendengarkan hadits tersebut darinya. Seperti perkataan : “Dari Fulan” atau “Berkata Fulan”; atau yang semisal dengan itu dan ia tidak menjelaskan bahwa ia
telah mendengarkan langsung dari orang tersebut. Adapun bila perawi menyatakan telah mendengar atau
telah bercerita, padahal sebenarnya dia tidak mendengar dari gurunya atau tidak membacakan kepada syaikhnya,
maka dia bukanlah seorang mudallis ,tetapi seorang pendusta yang fasik. Contohnya Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin Khusyrum dia berkata,”Telah meriwayatkan kami Ibnu ‘Uyainah, dari Az-Zuhri ; maka dikatakan kepadanya : “Apakah Anda telah mendengarnya dari Az-Zuhri?”. Dia (Ibnu ‘Uyainah) menjawab : “Tidak, dan tidak pula dari orang yang mendengarnya dari Az-Zuhri. Aku telah diberitahu oleh ‘Abdurrazzaq dari Ma’ mar dari Az-Zuhri. Sufyan bin ‘Uyainah – sebagaimana kita lihat – dia hidup semasa dengan Az- Zuhri dan pernah menjumpainya, tetapi ia tidak mendengar darinya. Ia mendengar dari ‘Abdurrazzaq, dan ‘ Abdurrazzaq mendengarnya dari Ma’ mar, dan Ma’mar inilah yang mengambil dari Az-Zuhri sekaligus mendengar darinya. Perbedaan antara tadlis dengan mursal adalah bahwasannya mursal itu periwayatnya meriwayatkan dari orang yang tidak mendengar darinya. Tadlis Taswiyyah Diantara tadlis isnad ada yang dikenal dengan tadlis taswiyyah . Yang memberi nama demikian adalah Abu Al-Hasan bin Qaththan. Definisnya adalah : Periwayatan rawi akan sebuah hadits dari Syaikhnya, yang disertai dengan pengguguran perawi yang dla’if yang terdapat di antara dua perawi tsiqah yang pernah bertemu, demimemperbaiki hadits tersebut. Gambarannya adalah : Seorang perawu meriwayatkan dari seorang syaikh yang tsiqah, dan syaikh yang tsiqah ini meriwayatkan dari perawi yang tsiqah
pula namun diantarai oleh perawi yang dla’if. Dan kedua perawi tsiqah ini pernah berjumpa satu sama lainnya. 
Maka datanglah sang mudallis yang mendengarkan hadits itu dari syaikh tsiqah tersebut, ia kemudian menggugurkan perawi yang dla’if dalam sanad, dan langsung menyambung jalur sanad antara syaikhnya dengan perawi tsiqah lainnya dengan menggunakan lafadh yang mengecoh agar sanad hadits tersebut menjadi tsiqah semua

0 komentar:

Posting Komentar